POLDA MALUKU – Kepolisian Daerah Maluku terus melakukan berbagai cara untuk menghentikan konflik sosial yang kerap terjadi di daerah ini. Salah satu yang dilakukan yaitu dengan dialog, menghadirkan berbagai pihak terkait.
Dialog yang kali ini dilaksanakan di kantor RRI, Kota Ambon, Selasa (21/3/2023), mengusung tema “Konflik sosial di Maluku dan solusinya ditinjau dari perspektif sosiologi dan budaya di Maluku”.
Sosiolog Maluku, DR. Paulus Koritolu, tokoh perdamaian Maluku, DR. Abidin Wakano, dan Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Pol M. Rum Ohoirat, hadir dalam dialog tersebut.
Dari pandangan sosiologi, Paulus Koritolu, mengungkapkan, secara objektif, rasional, orang Maluku tidak perlu kaget apabila konflik terjadi. Hal itu bukan berarti masyarakat menginginkan adanya konflik. Tetapi orang Maluku mempunyai collective experience yang panjang.
Sejarah pengalaman konflik orang Maluku, kata dia, sangat panjang. Konflik sudah terjadi sebelum kolonial, bahkan sejak massa kolonial. Dan hari ini bibit-bibit itu masih tetap ada, bahkan secara sosiologi ikut mereproduksi bentuk-bentuknya. “Sehingga sewaktu-waktu apabila ada faktor-faktor pemicu tertentu, maka kemudian akan terjadi lagi konflik,” jelasnya.
Pengalaman kolektif tersebut, kata Paulus, mempunyai segmentasi yang bermacam-macam. Bisa berbasis pada isme-isme agama, ketersinggungan budaya, atau faktor-faktor lain. Tentunya bisa dipetakan sesuai dengan kasus konflik yang terjadi.
Karena itu, Paulus mengaku secara sosiologis, harus diakui kalau konflik dan perdamaian adalah dua konsep yang berbeda. Tetapi dalam pragmatisasi perilaku manusia, konflik dan perdamaian seperti dua sisi mata uang yang berbeda, namun tidak bisa dipisahkan.
“Misalnya saya bertanya begini, kapan kira-kira orang membutuhkan damai, tentu orang membutuhkan damai, kalau orang sedang berkonflik, itu jawabannya,” ungkap Paulus.
Dengan situasi tersebut, dan bahkan kondisi geografis Maluku, Paulus mengaku juga mempengaruhi agresivitas masyarakat. Masyarakat agresif sehingga menjadi landasan yang kuat, menyebabkan konflik dapat terjadi kapan saja. Konflik bisa pecah ketika ada pemicu yang muncul di tengah-tengah masyarakat.
Bila terjadi konflik, Paulus mengaku penanganan sesungguhnya secara ideal tidak bisa dibebankan kepada satu pihak saja.
Menurutnya, lembaga kepolisian selalu menjadi kambing hitam apabila terjadi konflik. Padahal sebetulnya banyak pihak yang mesti berperan aktif dalam proses penyelesaian konflik.
“Saya misalkan secara internal ada kearifan-kearifan lokal yang selama ini terbelenggu, tidak berdaya seiring dengan berjalannya keterpurukan ekonomi dan faktor-faktor kemiskinan yang makin mengemuka,” kata dia.
Ia mengatakan, kearifan-kearifan lokal, budaya saat ini seakan dipenjara untuk tidak bisa bergerak. Padahal sebetulnya pada tahapan deteksi dini terhadap konflik, kearifan lokal sangat penting dalam memainkan perannnya.
“Saya kira pemerintah daerah sebagaimana tuntutan undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang penanganan konflik tentu juga melakukan langkah-langkah strategis, dan pihak kepolisian apalagi yang senantiasa melakukan langkah-langkah strategis untuk itu,” katanya.
Paulus mengaku polisi tetap memiliki kendala, termasuk melakukan deteksi dini. Dan apabila konflik terjadi biasanya aparat kepolisian tidak hanya melakukan pencegahan, tapi juga mengurai konflik agar eskalasinya tidak sampai meluas.
Sebagai seorang sosiolog, Paulus menilai internalitas masyarakat merupakan kekuatan utama dalam melakukan deteksi dini terjadinya konflik. Masyarakat juga bisa mencegah konflik, bahkan menyelesaikannya dalam jangka panjang.
Proses-proses tersebut akan sangat maksimal dilakukan, teristimewa dalam memaksimalkan peran lembaga-lembaga adat, dan kearifan lokal yang lain.
Dikatakan, apabila peran lembaga adat dan kearifan lokal berperan aktif, maka Paulus mengaku para provokator akan tenggelam atau mengalami kejenuhan. Mereka tidak akan bisa menggembosi pertahanan ke lokalan masyarakat Maluku yang begitu kokoh dan kuat untuk membangun kebersamaan.
“Bukan saja untuk membangun kebersamaan tetapi juga perdamaian sebagai sebuah kebutuhan yang sebetulnya riil dibutuhkan oleh masyarakat kita,” pungkasnya.
Senada dengan Paulus Koritolu, Kabid Humas Polda Maluku, M. Rum Ohoirat, juga mengaku konflik sosial di Maluku sudah terjadi sejak zaman dulu. Bahkan ada kelompok-kelompok etnis tertentu yang terbentuk akibat adanya konflik.
“Berbicara konflik sosial bukan baru saja terjadi. Tentu ini bukan satu kebanggaan bagi kita, atau sesuatu yang harus kita syukuri,” kata Ohoirat.
Ohoirat berharap agar konflik sosial yang kerap terjadi hingga saat ini harus mendapat perhatian serius dari semua elemen masyarakat. Pemerintah daerah, TNI Polri, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan elemen lainnya harus duduk bersama untuk menanggulanginya.
Polri, kata Ohoirat, telah berupaya secara maksimal untuk melakukan penanganan konflik sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).
Berbagai upaya telah dilakukan mulai dari pemetaan daerah rawan konflik, penempatan personel baik aparat pengamanan maupun Bhabinkamtibmas di setiap daerah, hingga proses penegakan hukum terhadap pelaku konflik.
“Namun apa yang disampaikan oleh pak Doktor (Paulus) tadi memang kami keterbatasan personil untuk mengcover seluruh negeri di Maluku, dalam upaya melakukan deteksi dini,” jelasnya.
Di sisi lain, juru bicara Polda Maluku ini mengaku penanganan konflik juga bukan ansih tanggung jawab kepolisian semata. Sesuai Undang-undang nomor 7 tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial, terdapat tiga tahapan yang diatur. Yaitu tahap pencegahan, penghentian dan pemulihan konflik.
Tahapan pencegahan merupakan tanggung jawab bersama semua pihak. Ohoirat berharap pada tahap ini berbagai pihak tidak saling melepas tanggung jawab.
“Kita tidak perlu menyatakan bahwa si A yang bertanggung jawab, atau si B. Namun sesuai amanah undang-undang bahwa tahapan-tahapan itu justru yang bertanggung jawab adalah pemerintah daerah. Berbicara pemerintah daerah maka di dalamnya ada Bupati, Walikota dan anggota DPRD,” katanya.
Ia mengungkapkan, sejauh ini setiap terjadi konflik, aparat kepolisian bertugas untuk menghentikannya. Polisi turun untuk mengamankan konflik agar tidak menyebar menjadi luas.
“Sesuai dengan amanah undang-undang tadi saya sampaikan tugas penghentian konflik berada di kepolisian kemudian selanjutnya adalah pemulihan adalah tugas dari pemerintah daerah,” katanya.
Ohoirat mengaku berbagai cara untuk menghentikan konflik sosial telah dilakukan sesuai SOP Kepolisian. Namun dirinya juga tidak mengelak masih terdapat kendala atau kekurangan-kekurangan yang terjadi.
“Yang namanya juga manusia sudah barang tentu ada kekurangan-kekurangannya, namun selama ini kami sudah lakukan sesuai tanggung jawab kepolisian yaitu penghentian konflik. Di manapun ada konflik sosial pasti kita segera turun untuk menyelesaikan, sambil menunggu tahap-tahap selanjutnya yang merupakan tanggung jawab kita bersama,” jelasnya.
Ohoirat menjelaskan, di Maluku terdapat beberapa potensi konflik. Seperti batas tanah antara suatu desa atau negeri. Hampir semua desa bertetangga memiliki persoalan batas tanah.
“Permasalahan batas tanah ini akan muncul menjadi konflik sosial apabila sudah masuk nilai-nilai ekonominya. Katakanlah antara batas tanah desa A dan desa B. Selama ini mungkin saja tidak ada konflik karena memang sama-sama makan bersama di situ, karena sudah turun temurun. Tetapi apabila ada nilai ekonomi di situ, katakanlah ada satu perusahaan atau ada satu usaha yang masuk di situ, maka itu sudah menimbulkan konflik sosial di situ,” jelasnya.
Potensi konflik sosial lainnya yaitu mengenai perebutan kepala desa atau Raja. Banyak yang mempersoalkan mengenai keturunan atau mata rumah parentah.
“Kita ketahui bahwa turunan ini sudah menyebar ke mana-mana, ibaratnya kalau pohon itu satu, tapi cabangnya sudah ke mana-mana. Cabang-cabang ini yang kadang mereka mengklaim bahwa merekalah yang paling berhak atau menjadi mata rumah perintah,” katanya.
Selain itu, Ohoirat juga mengaku potensi konflik sosial terbesar lainnya yaitu minuman keras (miras). Beberapa kejadian menonjol yang terjadi di Maluku, kata Ohoirat penyebab utamanya adalah miras.
“Katakanlah konflik sosial yang begitu besar tahun 1999, itu penyebabnya adalah minuman keras. Adanya bersinggungan antara dua orang masyarakat di Desa Batu Merah yang kebetulan minum. Nah itu yang menimbulkan konflik yang begitu mengerikan kemudian konflik-konflik sosial lainnya seperti Pelauw-Kariu, Hitu-Wakal, Warler-Banda Eli, dan lainnya,” ungkapnya.
Untuk menanganinya, Ohoirat mengaku pihaknya dibantu aparat TNI kerap melakukan razia miras. Apabila ditemukan, miras-miras ilegal tersebut langsung dimusnahkan.
“Tetapi untuk menyangkut miras itu sendiri perlu kita sama-sama duduk, karena di situ ada masalah ekonomi, sosial budaya, sehingga perlu untuk sama-sama semua stakeholder duduk bersama untuk merumuskan kira-kira bagaimana solusinya,” pintanya.
Sementara itu, Abidin Wakano, salah satu tokoh perdamaian di Maluku, menilai, penanganan konflik oleh aparat kepolisian sejauh ini sudah sesuai prosedur. Bahkan kepolisian sudah melakukan transformasi.
“Kita jangan melihat penanganan konflik secara parsial, hanya menjadi tanggung jawab aparat kepolisian,” katanya.
Penanganan konflik, kata Abidin, mestinya menjadi tanggung jawab semua elemen masyarakat. Karena kalau dilihat, konflik itu sendiri ada pemicunya, provokatornya dan akar-akar masalah.
“Dan hal itu bukan tanggung jawab aparat keamanan saja, tapi tanggung jawab semua stakeholder, dan tanggung jawab ini yang sangat penting,” jelasnya.
Abidin mengutip pemikiran Johan Galtung terkait pembangunan perdamaian. Terdapat tiga tahap dalam pembentukan perdamaian yaitu peace skipping, peace making dan peace building.
Peace skipping yaitu ketika terjadi konflik, maka dibutuhkan kehadiran negara. Aparat keamanan sendiri sudah melakukan peran-peran tersebut. “Tapi lagi-lagi jumlah personel yang terbatas dengan luas wilayah dan persoalan yang sangat kompleks,” katanya.
Ketika terjadi konflik, maka diperlukan peace making atau dibutuhkan diplomasi. Hal ini butuh tanggung jawab pemerintah, berbagai stakeholder, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan berbagai pihak lainnya.
“Kemudian apa yang disebut dengan peace building ini adalah bagian dari bagaimana kita membangun perdamaian itu dengan proses-proses bina damai,” ungkapnya.
Bina damai, lanjut Abidin, harus dimulai sejak dini. Proses ini harus dimulai pada tingkat terendah sekalipun.
“Misalnya anak-anak yang masuk sekolah TK kita mulai membangun nilai-nilai damai dalam benak anak-anak, kita bina mereka tentang perdamaian,” katanya.
Terkait dengan adanya permintaan mundurnya Kapolda Maluku yang dianggap tidak mampu menangani konflik, Abidin menilai hal itu sangat power full politik.
“Kita tidak selalu harus segala-galanya menyatakan mundur dan seterusnya. Okelah orang punya kebebasan berpendapat, tapi menurut saya itu (minta Kapolda mundur) tidak menyelesaikan masalah,” katanya.
Menurutnya, pada tahapan peace building atau penanganan akar masalah, peran pemerintah sangat penting. Karena misalnya mengenai kemiskinan, kesenjangan sosial, ekonomi, tidak bisa diserahkan kepada pihak Kepolisian.
“Kesenjangan sosial, politik, ekonomi, ini biasanya tunggu dia memanas dan tunggu trigger dan selalu dengan apa yang disebutkan interpreneur konflik, selalu ada pengusaha konflik yang tinggal memanas-manasi. Nah saya kira boleh orang punya pendapat yang berbeda tapi menurut saya ketika mau mengatakan Kapolda mundur atau apa itu, saya kira itu tidak tepat, itu bukan solusi yang terbaik,” pungkasnya.
Discussion about this post