POLDA MALUKU – Kepolisian Daerah Maluku menggelar dialog yang menyoroti tentang 25 tahun membina perdamaian di provinsi Maluku.
Kegiatan yang menghadirkan empat orang narasumber ini dilaksanakan di kantor RRI, Kota Ambon, Senin (22/1/2024).
Empat pemateri yang didatangkan yaitu Pdt. Prof. Jhon Ruhulessin, Guru Besar UKIM Ambon, DR. Abidin Wakano, Ketua Pusat Rekonsiliasi dan Mediasi Maluku, Pimpinan Yayasan Gasira Maluku Pdt. DR. Liz Marantika, dan Kombes Pol Drs. M Rum Ohoirat, Kabid Humas Polda Maluku.
Jhon Ruhulessin menyampaikan, sejarah konflik sosial di Maluku merupakan suatu pelajaran dan pengalaman berharga bagi segenap orang Maluku khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Ia berharap konflik sosial jangan sampai terjadi lagi.
“Mari kita menatap masa depan yang lebih baik ke depan sebab tanpa pembelajaran itu kita akan salah arah dalam menjalani kehidupan sebagai masyarakat yang majemuk yang berbangsa dan bernegara dengan asas Pancasila dan undang-undang dasar 1945,” katanya.
Sebagai refleksi konflik Maluku 25 tahun lalu, Ruhulessin mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus memperkuat hubungan persaudaraan.
“Mari kita menegaskan komitmen kebangsaan kita, komitmen kemalukuan kita untuk betul-betul menata masa depan, sebab konflik itu ternyata tidak menyelesaikan permasalah tapi malah menimbulkan permasalahan dan kekerasan baru,” jelasnya.
Mantan Ketua Sinode GPM ini, juga mengajak masyarakat untuk terus belajar membangun Maluku ke depan, baik dari sisi kehidupan berbasis budaya maupun sosial.
“Menjelang Pemilu ini mari kita tetap menjaga hubungan persaudaraan dan silaturahmi yang baik, sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan bersama,” ajaknya.
Senada dengan Ruhulessin, Abidin Wakano juga meminta seluruh masyarakat Maluku agar cerdas dalam melihat situasi dan kondisi yang terjadi. Masyarakat diminta tidak mudah terprovokasi dengan isu yang disebarkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Pasalnya, isu yang dihembuskan itu hanya untuk membuat Maluku tidak aman.
“Konflik sosial tahun 1999 harus menjadi bahan renungan kita semua karena konflik itu dampaknya sangat luas dan besar bagi kehidupan orang Maluku,” ujarnya.
Wakano mengaku, konflik kemanusiaan yang melanda Maluku tersebut boleh dikatakan sebagai salah satu konflik sipil terbesar di abad ini. Konflik itu sudah banyak memakan korban jiwa dan harta benda.
“Mari kita banyak belajar bahwa konflik dan kekerasan membuat kita ambruk dan kita perlu belajar banyak dari konflik di tahun 1999 lalu,” pintanya.
Di sisi lain, Dosen IAIN Ambon ini menepis prediksi banyak orang bahwa pemulihan keamanan pasca konflik membutuhkan waktu 20 sampai 50 tahun, baru Maluku bisa kembali normal.
“Prediksi banyak orang pemulihan kondisi keamanan pasca kerusuhan membutuhkan waktu 20 sampai 50 tahun baru kembali normal, namun faktanya hari ini di luar prediksi di mana hanya dalam waktu beberapa tahun saja kita punya success story yang luar biasa, dan ini menjadi sebuah catatan dan cerita yang baik untuk semua orang,” jelasnya.
Maluku sejatinya, kata dia, harus menjadi laboratorium untuk orang belajar tentang bagaimana mewujudkan perdamaian dalam waktu cepat. Kendati begitu, memang ada satu atau dua hal yang perlu dibenahi bersama.
“Secara umum Maluku kembali pulih dari konflik sosial dengan waktu yang sangat cepat sehingga pantas menjadi laboratorium perdamaian di Indonesia bahkan di dunia,” ungkapnya.
Wakano meminta seluruh masyarakat Maluku agar dapat menjaga hubungan silaturahmi dan toleransi yang sudah terjalin dengan baik.
“Saya sangat mengharapkan adanya ketahanan dari masyarakat Maluku khususnya di tahun politik ini sehingga jangan sampai terbawa dengan polarisasi politik identitas dan sebagainya, sebab tujuan dari kita berdemokrasi itu untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sehingga saya bersama beberapa rekan saya kami para tokoh agama dan tokoh adat para latupati akan selalu menjadi alarm pengingat untuk Maluku yang aman dan damai,” ucapnya.
Mewakili kaum perempuan dan anak, Ketua Gasira Maluku, Lis Marantika mengaku, konflik sosial yang terjadi 25 tahun silam selain telah merenggut jiwa laki-laki, juga sudah merampas kebahagiaan perempuan dan anak-anak di Maluku.
“Para perempuan dan anak-anak yang mengalami konflik sosial di tahun 1999 itu rata-rata sangat terganggu psikologinya dan bahkan ada juga yang menjadi korban jiwa. Selain itu juga dampak dari konflik sosial di Maluku banyak kaum wanita yang menjadi korban seksual dan pelecehan,” ungkapnya.
Konflik sosial, lanjut dia, juga membatasi gerak sosial. Kaum perempuan tidak leluasa sehingga konflik sosial di Maluku harus menjadi pembelajaran berharga bagi semua orang.
“Yang harus kita jaga dalam merawat perdamaian saat ini adalah bagaimana kita berupaya untuk menghambat seluruh faktor yang memposisikan masyarakat pada situasi yang rentan, seperti adanya ketidakadilan dalam segala hal, kemudian juga masalah kemiskinan,” pintanya.
Ketidakadilan dan kemiskinan, tambah Marantika, dapat membuat masyarakat mudah terpengaruh, atau dapat dijadikan alat politik dan sebagainya.
“Pada kesempatan ini kami sampaikan bahwa keadilan dalam segala hal itu sangat penting untuk memelihara perdamaian di bumi Maluku yang kita cintai ini,” jelasnya.
Kabid Humas Polda Maluku, M. Rum Ohoirat, mengatakan, konflik sosial di Maluku tidak mendatangkan manfaat, justru sebaliknya telah membawa dampak kerugian dan kehancuran bagi masyarakat sendiri.
“Tanggal 21 Januari 1999 lalu, tepatnya 2 hari setelah awal meletusnya kerusuhan di kota Ambon, saya yang kebetulan berdinas di Mabes Polri diberangkatkan ke Ambon. Saat tiba saya kaget melihat situasi saat itu, antara saudara saling membunuh, kerusakan di mana-mana, dan begitu kerasnya fitnah dan hoax yang beredar yang menyebabkan konflik berkepanjangan,” ungkapnya.
Bahkan, Ohoirat mengatakan tidak ada satu data resmi yang dirilis terkait dengan korban pada saat itu. Banyak versi terkait dengan korban kerusuhan, namun yang mungkin bisa dijadikan satu patokan yaitu data yang dirilis oleh lembaga survei Indonesia (LSI). LSI merilis kerusuhan di Maluku memakan korban 8000 sd 9000 jiwa yang meninggal, 700 ribu warga mengungsi, 29.000 bangunan rumah warga terbakar, 7.046 rumah dirusak, 102 bangunan ibadah (mesjid dan gereja) dibakar, 719 bangunan toko dirusak dan dibakar, 38 gedung pemerintah dan 4 bank hancur.
“Kerusuhan di Maluku ini harus menjadi pembelajaran dan perhatian kita semua, karena tatanan kehidupan sosial dan ekonomi yang terbangun sejak leluhur kita menjadi hancur berantakan. Antara basoudara saling melukai dan membunu. kita tidak lagi merasakan kehidupan yang damai dan rukun,” pintanya.
Maluku terkenal dengan budaya persaudaraan pela gandong yang sangat erat. Mari terus menjaga kebudayaan tersebut.
“Hari ini genap 25 tahun kita merefleksikan konflik yang pernah terjadi di Maluku, mari kita jadikan semuanya sebagai pelajaran berharga dalam menata kehidupan kita ke depan yang lebih baik, saya yakin dan percaya kita semua ingin kedamaian terwujud di bumi Maluku,” jelasnya.
Berbicara mengenai konflik di Maluku, Ohoirat mengaku sering terbawa emosi dan sedih. Sebab, Ia terlibat langsung dalam situasi konflik saat itu bagaimana melerai kedua belah pihak agar tidak bertikai.
“Saat itu suasananya sangat mencekam dan kacau balau sehingga kami aparat juga bisa terkena dampak dan resikonya akibat isu memprovokasi yang beredar dan membuat kedua belah pihak di Maluku menjadi panas,” katanya mengenang.
Mantan Kapolres Kepulauan Aru dan Kapolres Tual ini mengajak masyarakat Maluku agar dapat terus menjaga kedamaian di bumi Para Raja-raja ini.
“Saya juga ingin mengajak seluruh masyarakat agar mari di tahun politik ini kita jaga persaudaraan dan silaturahmi kita dengan baik, kita sukseskan pemilu serentak dengan baik, sebagaimana kita pernah punya sejarah di mana pemilu yang dilaksanakan saat kerusuhan di Maluku saat itu bisa berjalan dengan aman,” pintanya.
Dengan situasi Maluku yang semakin kondusif, Juru Bicara Polda Maluku ini merasa yakin semua elemen masyarakat bisa mewujudkan pemilu yang aman dan damai.
Pada kesempatan itu, Ohoirat juga mengaku Polda Maluku memiliki program unggulan yang merupakan inovasi Kapolda Maluku. Program itu yakni Basudara Manise yang bertujuan mewujudkan Maluku yang aman, damai dan sejahtera.
“Basudara Manise artinya mewujudkan persaudaraan di Maluku sehingga tercipta rasa aman dan sejahtera. Kegiatan berupa sambang tokoh baik baik pemuda, tokoh agama, tokoh masyarakat dalam menghadapi suatu permasalahan sekaligis juga sebagai cooling sistem terutama dalam menghadapi pemilu 2024 yang semakin dekat,” pungkasnya.
Discussion about this post