POLDA MALUKU – Kepolisian Daerah Maluku menggelar dialog publik dengan mengusung tema penanganan kasus tindak pidana asusila di wilayah provinsi Maluku.
Kegiatan yang digelar kantor RRI Ambon, Kamis (21/7/2022), ini menghadirkan Direktur Reskrimum Polda Maluku, Kombes Pol Andri Iskandar SIK.,M.Si, Ketua Yayasan Gasira Maluku, DR. Liez Marantika, dan Akademisi Bidang Psikolog, Frisca D. Sampe S.Psi.,M.Ed.
Kasus pelecahan seksual marak terjadi di Maluku. Banyak yang menimpa anak-anak di bawah umur. Selain menjadi korban pelecehan, psikologi mereka pun terganggu.
“Kami masih menangani kasus tindak pidana pelecahan seksual terhadap anak di bawah umur. Ada juga beberapa kasus lain yang sedang dalam penyidikan. Mereka yang menjadi korban itu mengalami masalah pada jiwa mereka dan dibutuhkan pendampingan dari psikolog karena rata-rata para pelakunya adalah orang dekat dari korban itu sendiri,” ungkap Andri Iskandar.
Pihaknya, lanjut Andri, dalam penanganan kasus tersebut tetap mengacu kepada mekanisme perundang-undangan yang berlaku.
“Jadi para pelaku diancam minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun,” sebutnya.
Andri mengaku, hukuman yang diterima para pelaku tidak mengembalikan kestabilan jiwa korban. Rasa trauma yang dialami para korban cukup tinggi.
“Untuk itu penyidik unit PPA dalam penanganan kasus selalu meminta pendampingan terhadap korban. Dan untuk personel yang kita tugaskan adalah para polwan yang tujuannya untuk lebih memudahkan korban dalam berkomunikasi dengan para petugas kita,” jelasnya.
Sementara Ketua Yayasan Gasira Maluku, DR. Liez Marantika mengingatkan kepada publik bahwa para pelaku kekerasan seksual biasanya adalah orang dekat.
Olehnya itu, ia meminta agar ada pendidikan seksual yang baik di setiap keluarga. Sehingga setiap orang bisa mengelola masalah seksualitasnya masing-masing.
“Hari ini kalau orang maki-maki di jalan itu mereka tidak malu, namun ketika disuruh untuk berbicara tentang seksualitas maka mereka malu dan ini sangat disayangkan karena tidak ada pendidikan seks yang baik terhadap mereka,” sebutnya.
Setiap orang tua, pinta Marantika agar dapat memberikan pemahaman kepada anaknya tentang bahaya pelecehan atau kekerasan seksual tersebut.
“Dan saya pikir tiap orang tua harus memberikan pemahaman kepada anaknya bahaya dari pelecehan atau kekerasan seksual,” kata dia.
Sebagai seorang aktifis, Marantika meminta adanya peran serta dari Pemerintah terhadap penanganan kasus kekerasan seksual yang sering terjadi.
Ia juga berharap Pemerintah dapat menyiapkan ruang khusus konsultasi di setiap rumah sakit kepada para korban kejahatan seksual.
“Saya kira di kota Ambon ini bisa dipasang spanduk atau baliho yang tulisannya mengecam tindakan asusila dan pelakunya, kota kita ini kan kota ramah anak jadi sangat disayangkan tingkat kasus pelecehan seksual terhadap anak sangat tinggi dan yang selalu bermitra dengan kami saat penanganan korban tindakan asusila hanya polisi,” ungkapnya.
Senada dengan Marantika, akademisi bidang Psikologi, Frisca Sampe, juga menjelaskan bahwa pelecehan seksual adalah sikap dan perilaku yang tidak terkontrol dari seseorang.
Ia mengatakan bahwa aksi pelecehan seksual atau rudapaksa itu bisa terjadi karena pengaruh lingkungan yang tidak baik. Dan untuk di dalam keluarga sendiri, biasanya terjadi karena faktor pendidikan yang rendah, faktor ekonomi yang mengakibatkan istri harus bekerja di luar rumah dan hal lainnya. Dan biasanya para pelaku adalah mereka yang jadi korban di masa lalu dan ingin membalas dendamnya.
“Jadi mereka para korban dari kasus pelecehan seksual ini biasanya melebelkan ciri tertentu kepada setiap orang sesuai dengan ciri para pelakunya, kalau korban ini melihat kalau pelakunya itu berkumis maka nantinya setiap kali ia melihat orang yang berkumis pasti dia akan mengalami ketakutan akibat trauma yang ada pada dirinya. Dan hal ini sangat fatal terhadap kehidupannya. Olehnya itu perlu peran dari semua pihak dalam penanganan kasus kekerasan seksual dan rudapaksa,” pintanya.
Discussion about this post