SBB – Hingga saat ini PT Spice Islands Maluku (SIM) yang bergerak di bidang pertanian budidaya pisang abaka telah menutup pengoperasian sejak 1 Juli 2024.
Penutupan yang dilakukan perusahaan tersebut merupakan imbas dari persoalan sengketa lahan dengan sejumlah oknum masyarakat yang tak kunjung selesai.
Dampak dari penutupan itu, telah menyebabkan ratusan orang karyawan, yang merupakan anak-anak asli Seram kehilangan pekerjaan. Bahkan program CSR yakni beasiswa pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi harus terhenti.
Dengan kondisi tersebut, Pilmon Matital, sekretaris desa Nuruwe meminta Pemerintah Daerah untuk menjadikan persoalan ini sebagai atensi prioritas.
Menurutnya, kehadiran PT SIM selama ini telah membuka lapangan pekerjaan khususnya di kabupaten SBB. “Kami sangat mendukung adanya kegiatan yang dilaksanakan oleh PT SIM abaka di desa Nuruwe, Lohiatala, Hatusua dan Kawa. Karena dengan adanya PT SIM akan mengurangi adanya pengangguran di bumi Saka Mese Nusa,” kata Pilmon, Selasa (9/7/2024).
Menurutnya, PT SIM menyatakan tutup karena adanya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Mereka sengaja membuat permasalahan sehingga perusahan ini terpaksa memberhentikan operasinya. “Penutupan ini akan membuat angka pengangguran bertambah di Kabupaten Seram Bagian Barat. Saya selaku sekretaris desa Nuruwe mengharapkan agar PT SIM tetap beroperasi seperti biasa,” harapnya.
Terpisah, Yandro Somai, ketua Saniri atau BPD Negeri Lohiatala juga mengharapkan hal yang sama. Ia menginginkan agar persoalan yang dialami PT SIM dapat segera diselesaikan.
“Mengingat sementara ini persoalan yang dialami oleh PT SIM belum selesai harapan kami selaku pemerintah desa agar persoalan ini segera diselesaikan,” pinta Yandro.
Ia mengaku, kehadiran perusahaan selama ini di kabupaten SBB dapat membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Kami mengharapkan adanya perhatian khusus dari Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat dan juga bapak ibu pemangku kepentingan agar secepatnya menyelesaikan persoalan yang terjadi,” pintanya.
Selain telah menstabilkan ekonomi masyarakat, Yandro juga mengakui kehadiran PT SIM mampu menurunkan angka kriminalitas dan kemiskinan.
“Kami mengharapkan kehadiran PT SIM di desa kami dan beberapa desa di Kabupaten Seram Bagian Barat,” harapnya.
Senada dengan Pilmon dan Yandro, Paulus Tetehuka, karyawan PT SIM yang berdomisili di desa Hatusua, mengaku sangat dirugikan dengan adanya penutupan perusahaan.
“Kami menolak dengan keras penutupan atau pemberhentian pekerjaan PT SIM di Serang Bagian Barat khususnya di wilayah kami Desa Hatusua,” ungkapnya.
Paulus mengaku kehadiran PT SIM selama ini telah mensejahterakan keluarga, orang tua, maupun masyarakat adat di desa Hatusua.
“Kami selama ini pengangguran, namun dengan kehadiran PT SIM kami bisa bekerja dengan upah sebesar Rp118 ribu per hari,” katanya.
“Kami juga menolak keras adanya intimidasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menutup lapangan pekerjaan kami,” pungkasnya.
Sebelumnya, sebanyak 22 Raja dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) se Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), angkat bicara menyikapi perkembangan persoalan tersebut.
Bertempat di Tugu Patung Ina Ama, Kota Piru, Kabupaten SBB, Sabtu (6/7/2024), para Raja-raja/Kepala Desa dan BPD menyatakan pernyataan sikap:
1. Mendukung sepenuhnya investasi yang dilakukan di kabupaten Seram Bagian Barat untuk mengelola sumber daya alam,
2. Meminta pejabat Bupati Seram Bagian Barat untuk segera mencabut SK pejabat Bupati lama NO.100.3/492 tentang pemberhentian sementara pembongkaran lahan oleh PT.SIM (Spice Islands Maluku),
3. Mendukung pejabat Bupati Seram Bagian Barat untuk mengizinkan PT SIM beroperasi kembali di bumi Saka Mese Nusa,
4. Mendukung Polda Maluku untuk memproses saudara Ma’ruf Tomiya dalam kasus pencemaran nama baik,
5. Menentang dengan keras oknum oknum di luar masyarakat Seram Bagian Barat yang memprovokasi dan ingin merusak kehidupan orang basudara.
Discussion about this post